PERISTIWA-PERISTIWA
POLITIK DAN EKONOMI INDONESIA PASCA PENGAKUAN KEDAULATAN
A. KEMBALI KE
NEGARA KESATUAN SAMPAI PEMILU 1955
1. KEMBALI KE NEGARA
KESATUAN RI
Negara
RIS yang berbentuk federal berdiri sejak Indonesia memperoleh pengakuan
kedaulatan dari Belanda tanggal 27
Desember 1949, ternyata tidak mencerminkan cita-cita persatuan dan kesatuan
bangsa seperti yang diamanatkan pada proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945. Rakyat Indonesia sebagian besar menyadari bahwa
RIS merupakan warisan kolonial Belanda dan bukan keinginan rakyat Indonesia.
Atas dasar kesadaran itu, maka rakyat
di negara-nagara bagian berusaha kembali ke negara kesatuan. Mereka menuntut
bergabung dengan Negara RI. Pada tanggal 5 April 1950 Negara RIS hanya tinggal
tiga Negara bagian, yaitu Negara Bagian RI, Negara Indonesia Timur dan Negara
Sumatera Timur.
Pada tanggal 19 Mei 1950 berlangsung
perundingan antara Pemerintah RIS yang diwakili Moh Hatta dengan pemerintah RI
yang diwakili oleh Abdul Halim. Perundingan tesebut menghasilkan piagam persetujuan yang isinya :
a. RIS dan RI sepakat untuk mmbentuk Negara Kesatuan berdasarkan
Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945.
b. RIS dan RI membentuk panitia bersama yang bertugas menyusun
UUD.
UUD yang disusun tersebut diketuai
oleh Prof. Dr. Mr. Soepomo (Menteri Kehakiman RIS) dan Abdul Halim ( wakil
Perdan Menteri RI). Pada tanggal 21 Juli 1950, naskah rancangan UUD terbentuk,
dan disahkan pada tanggal 14 Agustus 1950 oleh Parlemen RI dan Senat RIS.
Rancangan UUD NKRI tersebut kemudian terkenal dengan sebutan UUD Sementara Tahun 1950 (UUDS 1950 ).
Pada tanggal 15 Agustus 1950 Presiden
RI, Ir. Soekarno membacakan piagam terbentuknya Negara Kesatuan RI. Pada saat
itu juga pejabat Presiden sementara RI, Mr. Asaat menyerahkan kembali mandatnya
kepada Presiden Soekarno. Selanjutnya secara resmi pada tanggal 17 Agustus 1950
RIS dibubarkan, dan lahirlah Negara Kesatuan Republik IIdonesia (NKRI). RIS
hanya berumur 8 bulan.
2. KEHIDUPAN POLITIK DAN PEMERINTAHAN PASCA KEDAULATAN
Sejak kembalinya ke Negara Kesatuan Republik Indonesia pada tanggal 17
Agustus 1950, Indonesia menganut sistem Demokrasi Liberal, dimana kedaulatan
rakyat disalurkan melalui partai-partai politik. Pada waktu itu ada empat
partai besar yang sangat berpengaruh dalam pemerintahan, yaitu PNI, Masyumi,
NU, dan PKI.
Dalam masa Demokrasi Liberal
Indonesia menganut sistem Kabinet Parlementer, artinya kabinet dipimin oleh
seorang Perdana Menteri. Perdana Menteri dan para Menteri bertanggung jawab
kepada Parlemen (DPR). Jatuh banguanya pemerintah atau kabinet sangat
tergantung kepada DPR. Bila mayoritas dalam parlemen tidak mempercayai atau mendukung kabinet,
maka kabinet harus mengembalikan mandate kepada presiden dan perlu dibentuk
kabinet baru.
Para
menteri mewakili partainya. Partai yang wakilnya duduk dalam pemerintahan
disebut partai pemerintah, dan yang
tidak duduk dalam pemerintahan disebut partai
oposisi. Partai pemerintah banyak mengurus kepentingan partainya, sehingga
timbul mosi tidak percaya terhadap Kabinet yang sedang berkuasa. Krisis kabinet
dan jatuhnya kabinet sering terjadi. Keadaan seperti ini memberi peluang pada
partai oposisi untuk menyatakan ketidakpercayaan terhadap kabinet yang
memerintah, sehingga terjadilah jegal-menjegal antar partai politik.
Dampak sistem Demokrasi Liberal yang berlangsung di
Indonesia selama kurang lebih 9 tahun
(1950 -1959) terhadap pemerinthan antara lain:
a. Pemerintahan
tidak stabil, saling jegal-menjegal antar partai sehingga kabinet jatuh bangun.
b. Kabinet tidak dapat bekerja secara
maksimal karena usianya pendek.
c. Program
kabinet tidak berkesinambungan, karena setiap kabinet mementingkan partainya.
Kabinet-kabinet yang pernah memegang
pemerintahan pada masa Demokrasi Liberal adalah tersebut di bawah ini.
1. Kabinet Natsir (
6 September 1950 – 27 April 1951)
Pimpinan :
Perdana Menteri Muhammad Natsir ( dari Partai Masyumi )
Alasan bubar : a. Kegagalan dalam perundingan masalah
Irian Barat dengan Belanda menimbulkan mosi tidak percaya dalam parlemen
b. Pembentukan DPRD ditentang oleh Partai Oposisi, karena
dianggapmenguntungkan Masyumi
2. Kabinet Sukiman (
27 April 1951 – 3April 1952 )
Pimpinan :
Perdana Menteri Sukiman ( koalisi dari
Partai Masyumi dan PNI )
Alasan Bubar :
Mosi tidak percaya dari Masyumi dan PNI sendiri, karena politik luar negerinya
dianggap condong ke Barat, yang bertentangan dengan politik bebas aktif, yaitu
ditandatanganinya bantuan, ekonomi, tehnik dan persenjataan dari Amerika
Serikat atas dasar MSA (Mutual Scurity Act ) tahun 1951.
3. Kabinet Wilopo ( 3 April 1952 -30
Juni 1953 )
Pimpinan :
Perdana Menteri Mr. Wilopo ( dari PNI )
Alasan bubar : a. Goncangan peristiwa 17 Oktober 1952 (
demonstrasi rakyat menuntut pembubaran DPR Sementara yang didukung TNI AD )
b. Ketidakmampuan menyelesaikan sengketa tanah di
Sumatera Timur(peristiwa Tanjung Morawa
).
4. Kabinet
Ali - Wongso atau Ali Sastroamijoyo 1 ( 30 Juli 1953 – 12 Agustus 1955 )
Pimpinan : Perdana
Menteri Mr. Ali Sastroamijoyo ( koalisi
PNI dan NU )
Prestasi :Berhasil melaksanakan KAA di
Bandung,persiapan pemilu.
Alasan bubar : masalah pergantian pimpinan TNI AD (
peristiwa 27 Juni 1955 )
5. Kabinet Burhanudin Harahap ( 12 Agustus 1955 – 24 Maret 1956 )
Pimpinan :
Perdana Menteri Burhanudin Harahap (dari Masyumi )
Prestasi :
Berhasil menyelenggarakan pemilu I tahun 1955
Alasan bubar :
6. Kabinet Ali II ( 24 Maret 1956 – 9 April 1957 )
Pimpinan :
Perdana Menteri Mr. Ali Sastroamijoyo (koalisi PNI, NU dan Masyumi )
Alasan Bubar :
Munculnya pemberontakan di daerah-daerah, serta ditarik mundurnya Menteri-menteri dari Masyumi
7. Kabinet Juanda
atau Kabinet Karya ( 9 April 1957 – 5 Juli 1959 )
Pimpinan : Perdana Menteri ir. Juanda
( dari Non Partai atau ekstra parlementer )
Alasan bubar :
Menghadapi spartatisme dari dewan militer seperti Dewan Banteng, Dewan Gajah,
Dewan Manguni dll.
3. GANGGUAN KEAMANAN DALAM NEGERI
Kembalinya ke Negara Kesatuan juga
berdampak pada sebagian tokoh dari Negara bagian ingin tetap mempertahankan sebagai sebuah Negara yang
berdiri sendiri dengan cara mengadakan pemberontakan-pemberontakan.. Sehingga
hal ini menjadi gangguan dan ancaman keamanan dalam negeri. Adapun
pemberontakan-pemberontakan itu antara lain:
a. Pemberontakan DI / TII
Gerakan DI / TII pertama kali
didirikan oleh Sukarmaji Marijan Kartosuwiryo.
Tujuannya adalah ingin mendidrikan
Negara Islam Indonesia (NII ), yang diproklamasikan tanggal 7 Agustus
1949. Pusat gerakannya di Gunung Geber, Tasik Malaya Jawa Barat. Gerakan ini
bernama Darul Islam (DI) dan pasukannya
brnama Tentara Islam Indonesia (TII).
pemberontakan DI / TII dilakukan
dengan mencoba menghalang-halngi Divisi Siliwangi kemabli ke Jawa Barat. Waktu
itu pasukan Siliwangi baru kemabali dari Jateng untuk melakukan perang gerilya,
dalam aksi mIliter Belanda II. Disamping itu gerombolan DI / TII sering
melkukan terror kepada rakyat dengan jalan merampok, membakar rumah-rumah
penduduk, menyiksa dan membunuh rakyat.
Upaya penumpasan gerombolan DI / TII
di Jawa barat memakan waktu lama karena 1) medannya di daerah pegunungan, 2)
pasukan DI/TII bergerak leluasa di kalangan rakyat, 3) masalah politik yang
tidak stabil. Namun pada tahun 1960 pasukan siliwangi bersama rakyat melakukan penumpasan
yangdiberi nama “ Operasi Pagar Betis “ dan “ Operasi Baratayudha” yang
berhasil menangkap kartosuwiryo beserta keluarganya pada tanggal 4 Juni 1962 di
Gunung Geber Majalaya, Jawa Barat. Dan tanggal 16 Agustus ia dijatuhi hukuman
mati.
1. DII/TII di Brebes, Tegal
dan Pekalongan
Pimpinan DI/TII di daerah ini adalah Amir Fatah, yang setelah bergabung
dengan Kartosuwiryo diangkat sebagai Jenderal Mayor Tentara Islam Indonesia.
Dalam menumpas
gerakan ini diadakan operasi militer
Gerakan Bentyeng Negara (GBN).
2. Di Kebumen
Gerakan ini dikenal dengan pemberontakan “ Angkatan Umat Islam “ (AUI).
Gerakan ini dipimpin oleh Kyai Moh. Mahfud Abdurrohman yang dikenal sebagai
Kyai Sumolangu. Geombolan ini dapat ditumpas dalam waktu 3 bulan, sedangkan
sisanya bergabung dengan DI/TII Kartosuwiryo.
3. DII/TII di Sulawesi
Selatan
Gerakan ini dipimpin oleh Kahar Muzakar. Dia seorang mantan pejuang
kemerdekaan, kemudian menghimpun laskar gerila yang tergabung dalam Komando
Gerilya Sulawesi Selatan ( KGSS). Ia menuntut kepada pemerintah agar KGSS
dimasukkan dalam tentra APRIS dengan nama Briade Hasanudin, namun tuntutan itu
ditolak.
Pemerintah melakukan pendekatan dan memberi pangkat Letnan Kolonel ,
tetapi saat menjelang dilantik pada tanggal 17 Agustus 1950, ia melarikan diri
ke hutan bersama anak buahnya dengan membawa peralatan senjata. Bulan januari
1952 ia menyatakan bahwa daerah Sulawesi Selatan sebagai bagian NII
Kartosuwiryo. Selama 14 tahun Kahar mmMuzakar mengadakan kekacauan dan terror,
namun dengan operasi militer ia dapat ditembak mati pada bulan Pebruari 1965. Orang kedua yang bernama Gerunga juga
dapat ditangkap pada bulan Juli 1965.
4. Di Aceh
Gerakan DI/TII di Aceh dipimpin oleh Daud Beureueh. Ia pernah menjabat
Gubernur Militer di Aceh. Gerakan ini diproklamasikan pada tanggal 20 September
1953 yang menyatakan bahwa Aceh merupakan bagian NII Kartosuwiryo. Ia juga
mengeluarkan maklumat yang menyatakan bahwa “ Dengan lahirnya proklamasi Negara
Islam Indonesia di Aceh, lenyaplah kekuasaan Pancasila di Aceh dan diganti
pemerintah dari Negara Islam.
Usaha
pemerintah menumpas gerakan itu antara lain: 1) operasi militer yang berhasil
merebut kota-kota yang direbut gerombolan DI/TII. 2)musyawarah kerukunan rakyat
Aceh. Musyawarah ini diprakarsai oleh Pangdam I Iskandar Muda, Kolonel M.Jasin
yang berhasil menyadarkan Daud Beureueh untuk
kembali ke tengah-tengah masyarakat Aceh. Akhirnya keamanan di Aceh
dapat pulih kembali.
b. Pemberontakan APRA
Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) pada tanggal 23 Januari 1950 mengadakan
pemberontakan dibandung. Pemimpinnya adalah Kapten Raymond Westerling, yang
didalangi oleh Sultan Hamid II.
APRA menuntut
agar RIS mengakuinya sebagai Tentara Pasundan, namun tuntutan itu ditolak oleh
RIS. Dalam pertempuran di Pacet pada tanggal 24 Januari 1950, pasukan TNI
berhasil menumpas gerombolan APRA. Akan tetapi Westerling dapat meloloskan diri
ke Jakarta dan berencana akan menangkap para menteri RIS, namun usaha itu dapat
digagalkan.
Untuk mengatasi pemberontakan APRA,
pemerintah mengadakan operasi militer dan berhasil menangkap Sultan Hamid II
pada tanggal 4 April 1950. Sedangkan Westerling melarikan diri ke Singapura
dengan menumpang pesawat Catalina milik Angkatan Laut Belanda. Dengan
tertangkapnya para gembong tersebut,
maka berakhirlah APRA di Indonesia.
c. Pemberontakan Andi Azis
Andi
Azis adalah bekas tentara KNIL di Makasar. Pada tanggal 5 April 1950 ia
melakukan pemberontakan dengan tujuan ingin memperthankan Negara Indonesia
Timur. Adapun
latar belakang pembrontakan adalah :
1.
Menuntut pada pemerintah agar yang menjadi
tentara keamanan di Wilayah Indonesia Timur adalah bekas tentara KNIL( bekas
tentara Belanda dari orang-orang Indonesia).
2.
Mempertahankan berdirinya Negara Indonesdia
Timur.
3. Menolak kedatangan TNI di Makasar.
Untuk
menumpas pemberontakan Andi Azis pemerintah melakukan operasi militer dibawah
pimpinan Kolonel Alex Kawilarang. Pada tanggal 8 Agustus 1950 Andi Azis
menyerahkan diri dan pada tahun 1953 ia dijatuhi hukuman 15 tahun penjara di
pengadilan militer. Dan pada saat itu berakhirlah pemberontakan Andi Azis.
d. Pemberontakan RMS ( Republik Maluku Selatan )
Di
Ambon pada tanggal 25 April 1950, diproklamasikan berdirinya RMS ( Republik
Maluku Selatan ). RMS yang terlepas dari NIT dan RIS ini dipimpin oleh Dr.
Soumakil, mantan jaksa Agung NIT. Ia juga menjadi dalang pemberontakan Andi
Azis. Ketika Pemberontakan Andi Azis ditumpas pemerintah, ia memindahkan
kesatuan tentara KNIL dari Makasar ke Ambon. Pasukan inilah yang menjadi
kekuatan RMS.
Pemerintah RIS beritikad baik menyelesaikan RMS secara damai dengan
mengirim delegasi perdamaian yang
dipimpin oleh Dr. J. Leimena.Akan tetapi Soumakil menolaknya. Karena jalan damai ditolaknya, maka tanggal 14 Juli
1950 dilangsungkan gerakan militer dipimpin Kolonel Alex Kawilarang. Pada bulan
November 1950 Tentara APRIS ( TNI ) berhasil menguasai Ambon, namun dalam
pertempuran merebut benteng Victoria itu Letkol Slamet Riyadi gugur. Namun pada
12 Desember 1963 akhirnya Dr. Soumakil dapat ditangkap dan dijatuhi hukuman
mati oleh Mahkamah Militer Luar Biasa di Jakarta
4. PERGOLAKAN DI DAERAH
Awal terjadinya
pergolakan di daerah merupakan gerakan sparatis yang bertujuan memisahkan diri
dai pemerintah RI yang sah. Adapun latar belakang terjadinya pergolakan di
daerah antara lain :
a.
Anggapan bahwa pembangunan hanya dipusatkan di
Pulau jawa.
b. Pertentangan politik yang berlarut-larut, antar politik saling menjatuhkan.
c. Lahirnya konsepsi presiden Soekarno tahun 1957 tentang pelaksanaan
Demokrasi Terpimpin yang sangat menguntungkan PKI
Pergolakan di daerah yang sangat
membahayakan keutuhan NKRI adalah pemberontakan PRRI di Sumatera Barat dan
Permesta di Sulawesi Utara.
a. Pemberontakan PRRI (Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia )
Pada
tanggal 15 Pebruari 1958, Ahmad Husein memproklamasikan berdirinya PRRI
dengan Syafrudin Prawiranegara seabagai
Perdana Menterinya. Namun sebelum lumnya di dahului adanya pembentukan dewan-dewan di daerah
seperti :
1. Dewan Banteng di Sunmatera barat dipimpin oleh Letkol Ahmad Husein
2. Dewan Gajah di Medan dipimpin oleh Kolonel M. Simbolon
3. Dewan Garuda di Palembang dipimpin oleh Letkol Berlian
Pemberontakan PRRI muncul sebagai
akibat pertentangan antara pemerintah Pusat dengan Daerah. Pertentangan itu
mengenai masalah otonomi dan dan perimbangan anggaran di pusat dan daerah.
Dalam mengatasi hal itu pemerintah melakukan operasi militer antara lain:
operasi tegas, operasi 17 agustus, operasi Saptamarga dan operasi Sadar. Dan
Akhirnya pada tanggal 19 Mei 1961, Ahmad Husein menyerahkan diri dan kemudian
diikuti oleh tokoh-tokoh PRRI yang lain.
b. Pemberontakan Permesta( Piagam Perjuangan Semesta
Pada tanggal 2 Maret 1957, Letkol
Vence Semual memproklamasikan berdirinya Permesta. Pemberontakan ini muncul
karena adanya tuntutan agar pemerintah pusat memberi otonomi seluas-luasnya
kepada daerah Sulawesi Utara. Tuntutan itu ditolak pemerintah karena mengarah
pada gerakan spsratis.
Pemebrontakan Permesta di Sulawesi
Utara akhirnya dapat dilumpuhkan pada pertengahan tahun 1961, dengan opersi
militer gabungan dengan nama operasi merdeka di bawah pimpinan Letkol Rukminto
Hendraningrat.
5. PEMILIHAN UMUN I TAHUN
1955
a. Pelaksanaan
Pemilu 195
Pemilihan Umum merupakan program
pemerintah dari setiap kabinet, namun baru dapat terlaksana pada masa Kabinet
Burhanudin Harahap yang sebelumnya pada masa kabinet Ali I panitianya sudah
terbentuk. Pemilhan umum ini dilaksanakan dalam dua tahap, yaitu :
a.
Tahap I, tanggala 29 September 1955 memilih anggota Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR)
b. Tahap II,
tanggal 15 Desember 1955 memilih anggota Badan Kontituante ( Badan Pembuat
Undang-undang Dasar )
Pemilu 1955 berlangsung secara
demokratis. Dalam pemilu 1955 telah keluar empat partai besar pemenang pemilu,
yaitu PNI dengan 57 kursi, Masyumi dengan 57 kursi, NU dengan 45 kursi, dan PKI
dengan 39 kursi. Kemudian anggota Konstituante berjumlah 542 0rang. Anggota DPR
hasil pemilu 1955 dilantik pada tanggal 20 Maret 1956, sedankan pelantikan
anggota Badan Konstituante pada tanggal 10 November 1956.
Pada semester kedua tahun 1957
diadakan pemilihan anggota Dewan Provinsi. Pada pemilihan daerah, PKI menjadi
partai rakyat yang sangat dikenal terutama di desa.desa. Oeh karena itu pada
pemilihan daerah PKI mengalami peningkatan yang sangatluar biasa dalam
perolehan suara.
Hal ini menunjukkan bahwa PKI makin kuat pengaruhnya di masyarakat. Basis
PKI adalah jawa. Terkait dengat kenyataan ini, Presiden Sukarno berpendapat
bahwa PKI harus diberi peranan dalam pemerintahan. Keadaan yang demikian ini sangat
menguntungkan PKI di masa-masa berikutnya.
Pemilihan umum telah terlaksana
dengan baik , namun tidak berhasil membawa stbilitas politik seperti yang
didambakan oleh rakyat.Hal ini ini disebabkan masih adanya perselisihan antar
partai yang masih berlanjut seperti sebelumnya. Merka masih mempertahankan
partai masing-masing. Akhirnya di Indonesia mengalami krisis yan menghasilkan
system politik Demokrasi Terpimpin.
b. Kegagalan Dewan Konstituante dan Dekrit presiden
Pemilu tahun 1955 tahap II telah
memilih anggota Dewan Konstituante yang bertugas membuat Undang-Undang Dasar (
konstitusi ), karena waktu itu Indonesia belum memiliki Undang-Undang Dasar
yang tetap sebab masih enggunakan UUDS
Dewan Konstituante mulai bersidang
tanggal 10 November 1956 bertempat di Bandung. Sidang pertama dipimpin
oleh ir. Wilopo. Namun hingga tahun 1959
sidang Dewan Konstituante tidak mampu menghasilkan UUD baru. Justru dalam
siding tersebut terjadi perpecahan antar partai atau golongan. Setiap partai
mempejuangkan partainya masing-masing sehingga terjadi perdebatan yang tidak
ada habis-habisnya. Hal ini membuat pemerintah tidak stabil. Untuk itu Presiden
Sukarno pada tanggal 21 Februari 1957 mengeluarkan Konsepsi Presiden. Adapun isi konsepsi presiden adalah sbb:
1. Sistem demokrasi paerlementer model barat
tidak sesuai kepribadian Indonesia maka harus diganti dengan demokrasi
terpimpin.
2. Untuk melaksanakan demokrasi terpimpin perlu dibentuk cabinet Gotong
Royong.
Melihat keadaan yang serba tidak
stabil, rakyat merasa tidak puas. Mereka telah lama mendambakan keadaan yang
tenteram, aman dan damai. Melihat kenyataan itu maka timbul pendapat untuk
kembali ke UUD 1945. Presiden Sukarno sendiri mengamanatkan Dewan Konstituante
menetapkan kembali berlakunya UUD 1945. Teapi Dewan Konstituante sendiri tidak
berhasil mengambil kesepakatan dalam menaggapi usulan kembali ke UUD 1945.
Situasi yang demikian dipandang oleh
presiden Sukarno sebagai keadaan yang kritis. Situasi ketatanegaraan Indonesia
berada pada tahap yang membahayakan bagi
persatuan dan kesatuan bangsa. Oleh karena itu demi keselamatan bangsa
dan negara Presiden Sukarno mengeluarkan Dekrit Presiden pada tanggal 5 juli
1959. Adapun isi Dekrit Presiden adalah:
1. Pembubaran Dwan
Konstituante
2. Berlakunya
kembali UUD 1945
3. Akan dibentuk DPRS
dan DPAS
Dengan
dikeluarkannnya Dekrit Presiden berarti UUDS tidak berlaku lagi dan bangsa
Indonesi kembali menggunakan UUD 1945 sebagai konstitusi Negara. Dekrit
Presiden itu mendapat dukungan dari TNI AD dan sebagian besar rakyat Indonesia,
sehingga rakyat memiliki harapan besar bangsa ini akan menjadi lebih baik
setelah adanya Dekrit Presiden.
B. PEMBENTUKAN KELEMBAGAAN DAN PERTENTANGAN IDEOLOGIS
Setelah Dekrit Presiden semestinya
kehidupan berbangsa dan bernegara didasarkan pada UUD 1945 dan pelaksanaan
Pancasila. Namun dalam kenyataannya justru melakasanakan Demokrasi Terpimpin,
sehingga pelaksanaan berbangsa dan bernegara sangat ditentukan oleh seorang
pemimpin, yaitu Presiden Sukarno. Hal itu jelas tidak sesuai dengan
perinsip-perinsip demokrasi, yaitu dari, oleh dan untuk rakyat.
Untuk memantapkan pelaksanaan
Demokrasi Terpimpin pemerintah dilengkapi beberapa kelembagaan yang diperlukan.
Presiden Sukarno kemudian membentuk Kabinet Kerja dan menetapkan DPR, MPRS,
DPAS dan lain-lain.
1. PEMBENTUKAN
KELEMBAGAAN
a. Pembentukan Kabinet Kerja
Sebelum DekritPresiden, Kepala
pemerintahan dipegang Perdana Menteri. Namun setelah Dekrit Presiden dan kembali ke UUD 1945 Presiden
disamping sebagai kepala Negara jauga sebagai kepala pemerintahan. Pada saat
itu presiden membentuk Kabinet Kerja , dan sebagai menteri pertama adalah ir.
Juanda. Para menteri dalam Kabinet Kerja tidak lagi terikat oleh partai asalnya. Para menteri
tidak bertanggung jawab pada parlemen, tetapi langsung bertanggung jawab pada
presiden.
Kabinet Kerja dilantik pada tanggal
10 Juli 1959 dan memiliki 3 program yang dikenal dengan TRI Program, yaitu :
1.
Sandang pangan
2.
Keamanan
3.
Perjuangan mengembalikan Irian Barat
b. Penetapan DPR
Sejak Dekrit Presiden 5
Juli 1959 yang memeberlaKukan kembali UUD 1945, maka para anggota DPR hasil
pemilu 1955 bersedia bekerja terus, sehingga presiden mengeluarkan ketetapan
pada tanggal 22 Juli 1959 tentang penetapan DPR.
Dijelaskan bahwa sementara DPR
menurut UUD 1945 belum tersusun, maka DPR yang sudah ada menjalankan tugas hingga DRP baru terbentuk. Pelantikan
anggota DPR hasil pemilu 1955 menjadi DPR berdasarkan UUD 1945 itu dilaksanakan
pada tanggal 23 Juli 1959.
c. Pembentukan MPRS dan DPAS
Sebagai pelaksanaan
Dekrit Presiden sebelum terbentuk MPR yang tetap, sesuai dengan UUD 1945 maka dibentuk
Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS). MPRS dibentuk
berdasarkan Penetapan Presiden No.2
Tahun 1959. Anggota MPRS ditunjuk dan diangkat oleh presiden dengan syarat
sebagai berikut :
1. Setuju kembali kepada UUD 1945
2. Setia kepada perjuangan RI
3. Setuju dengan manifesto politik
Keanggotaan MPRS terdiri darianggota
DPR ditambah utusan-utusan daerah dan wakil-wakil golongan. Ditegaskan bahwa
tugas MPRS adalah menetapkan GBHN. Disamping itu juga dibentuk Dewan
Pertimbangan Agung Sementara (DPAS). Sebagai ketua adalah Presiden Sukarno dan
wakilnya adalah Ruslan Abdul gain. DPAS bertugas menjawab atas pertanyaan
presiden dan berhak mengajukan usul kepada pemerintah. DPAS dilantik pada
tanggal 15 Agusts 1959.
Mencermati proses pembentkan MPRS
jelas tidak sesuai dengan UUD 1945, sebab menurut ketentuan UUD 1945 presiden
adalah mendataris MPR sehingga presiden tidak memiliki wewenang untuk membentuk
MPR. MPR adalah lembaga tetinggi yang terbentuk dari DPR hasil pemilihan umum.
d. Penetapan GBHN
Untuk melaksanakan Tri Program
Kabinet Kerja diperlukan suatu pedoman yang merupakan haluan Negara. Akan
tetapi saat itu Indonesia belum memiliki haluan Negara atau GBHN sebagai
pedoman utuk melaksanaan pembangunan. Oleh karena itu pada saat memperingati
hari kemerdekaan RI yang ke 14 pada tanggal 17 Agustus 1959, Presiden Sukarno
berpidato berjudul Penemuan Kembali
revolusi Kita. Kemudian pidato itu di kenal dengan Manifesto Politik
Republik Indonesia (Manipol).
Sebagai inti dari Manipol adalah
USDEK (Undang-Undang Dasar 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin,
Ekonomi Terpimpin, Kepribadian Indonesia). Selanjutnya atas usulan DPAS pidato
Presiden Sukarno tersebut dijadikan GBHN. Akhirnya Usulan itu disetujui dalam
sidang MPRS dan dikukuhkan dalam Ketetapan MPRS No.1/ MPRS/1960. Disamping itu
MPRS juga menetapkan bahwa pidato Presiden Sukarno tanggal 17 Agustus 1960 yang
berjudul jalannya Revolusu Kita (Jarek)
dan pidato Presiden Sukarno tanggal 30 September 1960 di muka Sidang Umum PBB
yang berjudul To Built The World A New
(membangun Dunia Kembali) menjadi pedoman pelaksanaan Manipol.
e. Pembentukan DPR-GR
Pada bulan Juni 1960 saat
pemerintah mengajukan APBN untuk tahun 1961, DPR menolak anggaran yang diajukan
oleh pemerintah. Akibat penolakan itu maka presiden membubarkan DPR hasil
pemilu 1955. Selanjutnya presiden membentuk DPR baru yang disebut DPR Gotong
Royong (DPR-GR). Semua anggota DPR-GR adalah hasil penunjukan presiden sendiri,
dan tanpa adanya perimbangan kekuatan partai politik.
Proses pembubaran DPR hasil
penmilu 1955 dan penunjukan anggota DPR-GR jelas sangat tidak demokratis dan
tidak sesuai konstitusi UUD 1945, sehingga menuai banyak kecaman dari berbagai
pihak. Kelompok yang menolak itu kemudian membentuk Liga Demokrasi yang diketuai Imron Rosyadi dari NU. Partai yang
tergabung dalam liga demokrasia adalah NU, Parkindo, Partai katolik, Liga
Muslim, PSI, PSII, IPKI dan Masyumi. Liga Demokrasi pada bulan Maret 1960
mengeluarkan pernyataan agar dibentuk DPR yang demokratis dan Konstitusional.
Atas usulan atau pernyataan itu peresmian DPR-GR ditangguhkan sementara. Namun
akhirnya anggota DPR-GR tetap dilantik oleh presiden.
2. PERTENTANGAN ANTAR IDEOLOGI POLITIK
Berbagai upaya untuk melaksanakan
Demokrasi Terpimpin telah dilakukan. Seiring dengan itu, penyelewengan terhadap
UUD 1945 juga banyak dilakukan. Di samping itu terjadi pula pertentangan antar
kelompok politik dengan idiologi yang
berbeda.
a. Persaingan kelompok
Agama dan Komunis
Persaingan dan pertentangan
antara partai politik berdasarkan ideology semakain nampak sejak pemilu tahun
1955. Hal itu terbukti dengan empat partai besar pemenang pemilu, yaitu PNI,
Masyumi, NU dan PKI yang memberi gambaran adanya persaingan antara kelompok
Nasionalis, Agama dan komunis.
Pada saat pembentukan DPR-GR,
kelompok agama mulai tersisih (Masyumi). Masyumi tidak terwakili sama sekali.
Masyumi dengan dukungan PSI dan partai-partai lain membentuk liga demokrasi
menentang pembentuka DPR-GR. Para tokoh masyumi mendapat tekanan dari berbagai
pihak yang pro pemerintah. Akhirnya Masyumi membubarkan diri dan bulan Agustus
1960 Masyumi dilarang oleh pemerintah.
Pertentangan antara keompok agama
dan komunis juga sering terjadi sehingga keduanya menolak duduk dalam satu
kabinet. Namun pertentangan antara kelompok agama dan komunis, ternyata membawa
keuntungan bagi komunis (PKI). Apalagi setelah Presiden Sukarno membentuk Front Nasional pada akhir tahun 1959. Front
nasional bertugas memperjuangkan cita-cita proklamasi. Namun dalam
perkembangannya menyimpang dari tujuan semula. Fron nasional menjadi wadah
kader-kader PKI untuk meraih cita-cta partai dan sebagai alat politik PKI.
Bahkan pada tahun 1960 pimpinan PKI D.N. Aidit ditunjuk sebagai salah satu
pimpinan front nasional.
b. Ajaran Nasakom
Karena ingin menyatukan seluruh
kekuatan politik masyarakat dalam demokrasi terpimpin, Presiden Sukarno
mengemabangkan ajaran Nasakom (Nasionalis, Agama dan Komunis). Ajaran Nasakom
berintikan 3 Kekuatan, yaitu PNI mewakili kekuatan Nasionalis, NU mewakili
kekuatan Agama dan PKI mewakili kekuatan Komunis. Presiden mewajibkan ajaran
nasakom menjadi inti dan jiwa dari setiap lembaga negara yang ada.
Ajaran nasakom sangat
menguntungkan PKI, karena merasa sah hidup dan berkembang di Negara Pancasila.
Semakin hari PKI semakin kuat pengaruhnya. Bahkan ada upaya PKI mengganti
Pancasila denga ideologi komunis. Hal itu dibuktikan oleh Aidit yang menyatakan
bahwa” Pancasila itu hanya sebagai alat
pemersatu. Kalau rakyat sudah bersatu maka Pancasila tidak diperlukan
lagi”.
Nasakom akhirnya mengakibatkan
pertentangan ideologis makin tajam. Di samping itu TNI AD selalu menentang
ide-ide dan kekuatan PKI. Sehingga TNI AD dianggap musuh PKI yang selalu
menghalang-halangi cita-cita PKI.
C. KEHIDUPAN EKONOMI PASCA PENGAKUAN KEDAULATAN
Sejak pengakuan
kedaulatan pemerintah Indonesia dihadapkan pada masalah yang berkaitan dengan
dipertahankannya dominasi Belanda atas ekonomi Indonesia.Pemerintah Indonesia
masih menghormati kepentingn historis
dunia usaha Belanda di Indonesia. Hal ini banyak mendapat tentangan dari para
pemimpin revolusioner Indonesia. Banyak desakan agar Indonesia menutup
perusahaan-perusahaan swasta Belanda, dan sekaligus mendorong usaha swasta
pribumi.Sehingga diharapkan dapat mengubah ekonomi kolonial menjadi ekonomi
nasional.
Menurut Sumitro Doyohadikusumo,
untuk mengubah ekonomi kolonial menjadi ekonomi nasional, pemerintah perlu membantu dan membimbing
pengusaha lemah dengan bantuan pemberian
kredit.Usaha ini dikenal dengan Program
Benteng. Sasaran program ini adalah pembangunan industri. Menurut Sumitro,
Bangsa Indonesia harus segera dibangun kelas pengusaha, sehingga struktur
ekonomi kolonial dalam bidang perdagangan dapat segera diubah. Program Benteng
ini dimulai pada bulan April 1950. Selama tiga tahun, kurang lebih 700
perusahaan bangsa Indonesia mendapat bantuan dari proram ini. Namun program in
tidak tepat sasaran karena banyak pengusaha yang menyalahgunakan. Program ini terjadi
pada masa Kabinet Natsir.
Akibat tidak stabilnya politik,
maka defisit anggaran pemerintah semakin besar. Hal ini ada kecenderungan
pemerintah mencetak uang baru. Akibatnya, inflasi membumbung tinggi dan
mengancam kehidupan ekonomi Indonesia. Harga terus meningkat didikuti dengan
kenaikan upah, sehingga kemungkinan ekspor semakin berkurang.Untuk mengatasi
inflasi, pemerintah melakukan pemotongan uang (sinering) pada tanggal 19 Maret 1950. Uang yang ada di bank
setengahnya diganti dengan obligasi Republik Indonesia 1950. Uang yang ada
diperedaran digunting jadi dua, hanya yang kiri yang berlaku, dengan harga
setenganhnya dari harga semula.Hal ini bertujuan agar orang kecil tidak terlalu
merugi. Sebagai akibat sinering maka uang 1,5 milyar rupiah ditarik dari
peredaran.Dengan uang itu pemerintah dapat membayar utang sebagian kepada Bank
Sentral.
Situasi politik sampai tahun
1957 masih tetap tidak stabil, apalgi waktu itu masalah usaha pengembalikan
Irian Barat tidak kunjung selesai. Oleh karena itu pada 18 November 1957
terjadi pemogokan buruh perusahaan-perusahaan Belanda. Setealah itu terjadi
pengambilalihan (nasionalisasi) modal dan berbagai perusahaan Belanda menjadi
milik Indonesia.
Berbagai macam usaha pemerintah
mengatasi kesulitan ekonomi pada Masa Demokrasi liberal hingga awal masa
Demokrsi terpimpin, tetap tidak dapat menjamin kehidupan ekonomi yang layak
bagi bangsa Indonesia. Karena situasi politik pada waktu itu tidak mendukung
terciptanya stabilits ekonomi.
0 komentar:
Posting Komentar